Rabu, 30 Desember 2015

Arti Kebahagiaan dan Kesedihan (Kehilangan Part 1)

Bandara Prince Mohammad bin Abdul Aziz, Madinah
Sebelum keberangkatanku menunaikan ibadah umroh, saya selalu bersemangat cerita tentang kerinduan untuk menjadi tamu Allah SWT ke bapak dan beliau akan sangat antusias mendengarnya, dan saya berjanji nanti tahun 2016 akan menunaikan ibadah umroh bersama bapak dan beliau meng-Aamiin-kannya.

Pada hari keberangkatanku tanggal 25 Februari 2015, saya pamit kepada bapak dan beliau meridhoi kepergianku dengan senyum. Kucium tangan beliau dengan lembut sambil berkata "Pak, Dwi pamit ya dan mohon do'anya semoga semuanya lancar". "Iya, hati-hati di jalan ya nduk" ucap beliau.

Bismillah, saya pun berangkat menuju kota Madinah menggunakan pesawat Saudi Arabia Airlines dengan perasaan senang. Perjalanan menuju kota Madinah memakan waktu 9 jam lamanya, tapi bagi saya itu tidak terasa lama karena selama perjalanan kami selalu bercanda dan pramugara dari Filipina (namanya lupa) yang melayani kami sangat baik.
Rasa syukur dan senang membuatku speachless saat pesawat tiba di kota Madinah. "Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, Engkau panggil hamba untuk menjadi tamu-Mu" ucapku di dalam hati.
Masjid Nabawi
Setelah selesai dengan urusan imigrasi dan bagasi, saya dan teman-teman langsung menuju hotel Jawaharat Al Fairuz. Sesampai di hotel saya langsung mengganti simcard dan  menghubungi bapak untuk mengabarkan kalau saya sudah sampai di Madinah. Bapak sangat senang sekali. Kami mengobrol sangat lama sampai bapak bilang "sudah wi nanti pulsanya habis". Obrolan kami pun berhenti.

Tiga hari di Madinah kuhabiskan waktu di Masjid Nabawi dan Raudhah, selain itu saya dan rombongan juga ziarah ke Makam Hamzah di Jabal Uhud dan ke Masjid Quba serta city tour ke tempat lainnya. 

Tiba waktunya bagiku untuk meninggalkan kota Madinah, kota yang sudah meresap ke dalam hati yang akan selalu dirindukan. Saya bersama rombongan berangkat menuju Masjid Bir Ali untuk mengambil miqot dan langsung menuju Masjidil Haram di kota Mekkah. Tepat jam 8 malam waktu Saudi, kami tiba di Masjidil Haram dan langsung menuju hotel Shofwa Royal Orchid yang berada tepat di depan teras Masjidil Haram. Alhamdulillah saya mendapatkan kamar dengan view menghadap Ka'bah.

Setelah selesai membereskan koper, kami menuju Masjidil Haram untuk melakukan umroh wajib. Umroh dimulai dengan sholat 2 rakaat saat memasuki Masjidil Haram lalu dilanjutkan dengan Thawaf, Sa'i antara bukit Shafa dan Marwah dan diakhiri dengan Thahalul. Hati ini tidak dapat menahan rasa haru saat melihat kokohnya ka'bah berdiri dan banyaknya manusia yg berthawaf.

Masjidil Haram & Zamzam Tower
Selesai thawaf saya sholat sunnah tepat garis lurus menghadap pintu ka'bah yang disebut dengan Multa'zam, dimana apabila kita berdo'a di Multa'zam insya Allah do'a-do'a kita akan terkabul. Di setiap do'a saya selalu ada nama bapak dan mama agar kami bisa bersama-sama melaksanakan ibadah umroh.

Tak lupa saya kembali menelpon bapak dan mama, saya ceritakan pengalaman pertama melaksanakan ibadah umroh dan saya tahu mereka merasakan apa yang saya rasakan.  Di sela-sela percakapan kami selalu terselip do'a semoga kami bisa melaksanakan ibadah umroh dan haji bersama. Cukup lama kami berbicara dan akhirnya telpon pun harus terputus.

Selain melaksanakan ibadah umroh, saya dan rombongan diajak menelusuri sejarah perjalanan Rasulullah SAW dan juga ke Padang Arafah tempat puncaknya ibadah haji. Tetapi lebih banyak waktu kami habiskan dengan beribadah di Masjidil Haram.

Selama empat hari saya menghabiskan waktu di kota Mekkah, begitu banyak hal-hal yang tidak bisa ungkapkan dengan kata-kata, yang pasti ada ketentraman hati dan rasa aman yang saya rasakan dan saya merasa begitu dekat dengan-Nya.

Tak terasa empat hari berlalu dan tiba saatnya bagi saya untuk kembali ke Tanah Air, sedih sekali harus meninggalkan Al Haram tempat dimana kita sangat merasa dekat dengan-Nya, tempat dimana semua do'a insya Allah akan diijabah, tempat dimana berkumpulnya umat Rasulullah dari seluruh dunia.

Saat di Bandara King Abdul Aziz saya kembali menghubungi bapak untuk mengabarkan kalau saya besok sudah tiba di Bandara Soekarno Hatta. Berulang kali saya mencoba menghubungi handphone bapak tetap tidak ada yang menjawab. Perasaan saya tidak curiga sedikit pun karena di Jakarta pada saat itu menunjukkan jam 12.00, mungkin bapak masih di masjid karena bapak selalu melaksanakan sholat berjama'ah di masjid.

Akhirnya pesawat Saudi Airlines yang saya tumpangin take off menuju Jakarta. Selama perjalanan sampai tiba di Bandara Soekarno Hatta saya tetap tidak mempunyai perasaan apapun bahkan masih bisa tersenyum, sampai tibanya om saya menjemput. Saya heran kenapa cuma om yang jemput dan tidak ada satupun orang tua dan kakak menjemput. Om hanya mengatakan kalau orang tua dan kakak saya tidak bisa menjemput.

Di perjalanan om saya mengatakan kalau kita tidak pulang ke rumah tapi ke RSCM, saya heran kenapa harus ke RSCM, akhirnya om bilang kalau bapak masuk rumah sakit. Deg, hati saya langsung berdetak kencang dan air mata berurai. Senyum saya hilang dan berganti dengan tangisan. Om menenangkan kalau bapak udah baikan, tapi tetap air mata ini tidak bisa berhenti.

Sesampainya di rumah sakit, mama langsung memeluk saya sambil menangis. Kakak membawa saya ke ruangan IGD, disana saya melihat kondisi bapak yang tidak sadar. Saya mencium tangan dan memeluk beliau sambil mengucapkan kata maaf berulang kali. Kata kakak, bapak jatuh dari tangga dan mengalami dehidrasi yang sudah akut dan menjalar ke seluruh organ vital. Masya Allah, saya terduduk lemas mendengar penjelasan kakak. Hanya do'a yang selalu terucap dan berharap keajaiban yang Allah berikan semoga bapak segera sadar dan sehat kembali. 

Alhamdulillah jam 11.00 bapak sadar dan saya mencoba mengajak bicara beliau dan ketika dokter menanyakan saya siapa, bapak menjawab anak, dokter pun tersenyum. Saya berulang kali mengucapkan syukur Alhamdulillah karena bapak sudah sadar, dan itu kesempatan bagi saya untuk memohon ampun atas kesalahan saya selama ini dan beliau mengangguk dan mengatakan iya. 

Kondisi bapak semakin lama terlihat stabil (terlihat dari alat ventilator), selama bapak sadar saya menceritakan perjalanan umroh saya dan sesekali menunjukkan foto-foto dari handphone dan bapak tersenyum. Teman-teman kakak yang bekerja di RSCM menjenguk bapak dan bapak masih bisa merespon dengan baik dan juga ada beberapa kerabat yang datang. Setelah semua pulang, saya melihat bapak tertidur, mungkin bapak lelah. 

Jam 15.00 dokter menyuruh saya untuk mengambil darah di bank darah RSCM, saat itu saya sendirian karena mama pulang untuk istirahat dan kakak pulang mengambil seragam dinas karena kakak malam ini dinas. Akhirnya saya tinggalkan bapak sendirian untuk mengambil darah, saat kembali saya kaget ternyata kondisi bapak drop lagi. Panik dan takut yang saya rasakan melihat dokter memasukkan bermacam obat ke tubuh bapak. Do'a selalu terucap untuk kesembuhan bapak, saya menghubungi mama dan kakak dan mereka segera menuju rumah sakit. Alhamdulillah ada teteh dan mas wisnu datang, jadi saya tidak merasa sendirian. 

Kakak berusaha mencari ruangan ICU yang kosong dan teman-teman kakak pun juga berusaha membantu, tapi tetap ruangan semuanya penuh. Setelah masa kritis lewat dan kondisi bapak sudah stabil, kakak menyuruh saya dan mama istirahat di rumah. Jam 21.00 saya dan mama pulang, baru saja kami sampai di rumah dan beristirahat sebentar, kakak menelpon saya agar kami kembali ke rumah sakit karena kondisi bapak drop lagi. Saya dan mama panik dan langsung menelpon om untuk mengantar kami ke rumah sakit. 

Jam 23.00 kami tiba di rumah sakit, saya dan mama masuk melihat bapak, Alhamdulillah kondisi bapak stabil. Malam ini saya putuskan untuk tetap ada disamping bapak, karena ruang IGD sangat dingin dan saya khawatir mama nanti sakit maka saya mengajak mama untuk beristirahat di luar dan kakak yang menunggu bapak.

Jam 00.45 kakak menelpon saya kalau kondisi bapak drop lagi, saya dan mama segera masuk ke ruangan IGD, di sana saya melihat banyak dokter mengelilingi bapak dan berbagai macam obat dimasukkan ke tubuh bapak, dan saya melihat garis di alat ventilator sudah sering turun. Saya menangis dan berfikir apa saya harus kehilangan bapak sekarang. Saya dan keluarga bergantian mentalqinkan bapak dan terlihat mulut bapak komat kamit. Dokter masih berupaya menolong bapak dengan melakukan CPR, tapi kakak sebagai orang medis yang mengerti arti dari CPR tidak sanggup melihatnya dan memohon kepada saya dan mama untuk mengikhlaskan bapak dan mengatakan kalau bapak sebenarnya sudah tidak ada dan garis yang masih bergerak di alat ventilator itu semua karena pengaruh obat. Mama pun ikhlas akan kepergian bapak, setelah mama dan saya mengatakan ikhlas, dokter segera menghentikan CPR dan ventilator menunjukkan angka 0 dengan garis lurus panjang. 

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Tepat jam 01.00 hari Jum'at tanggal 6 Maret 2015 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) bapak menghembuskan nafas terakhir dengan wajah yang damai dan ditemani seluruh keluarga.

Ya Allah, ampunilah segala dosa bapak hamba, berilah rahmat kepadanya, selamatkanlah beliau, maafkanlah dan tempatkanlah beliau di tempat yang mulia (Surga), luaskanlah kuburannya, mandikanlah ia dengan air salju dan air es dan kumpulkanlah kami kembali di Surga-Mu. Aamiin.

Makam bapak di TPU Jeruk Purut


*Foto bapak tidak saya tampilkan karena keluarga bagi saya adalah privacy

Kamis, 10 Desember 2015

Malam Panjang di Puncak Semurup - Pangonan

 "Selalu ada yang tertinggal setiap kali mengunjungi dataran tinggi Dieng dan yang tertinggal itu adalah hatiku.. "
Kabut menyelimuti puncak Semurup
Kaki ini kembali berpijak di dataran tinggi Dieng, entah energi apa yang dipancarkan oleh Dieng sehingga membuat saya selalu ingin kembali ke sana. Ya, ini adalah ke lima kalinya saya mengunjungi Negeri di atas awan. Kalau dari hitungan seharusnya saya sudah mendapatkan gelas atau payung sebagai bonusnya, tapi bonus yang didapat dari kelima kalinya saya ke Dieng adalah kentang yang super enak.

"Yuk kita berangkat" ajak mas Sugeng kepada kami. Saya melihat jam dan ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul 2 siang. Setelah berpamitan ke ibu mas Sugeng, kami langsung berangkat menuju Basecamp Gunung Pangonan. Kemping di wilayah Pangonan dikenakan biaya sebesar Rp. 10.000,- dan bila tidak kemping hanya dikenakan biaya Rp. 5.000,-. Urusan retribusi selesai, kami menuju jalur pendakian. 
Basecamp Gunung Pangonan
Awal jalur pendakian. Photo by Mulyati Asih
Pipa uap yang sangat besar dan panjang menjadi pembuka jalur pendakian kami menuju padang savana Pangonan. Disebut Pangonan karena dulu di lembah savana banyak kuda yang diangon oleh warga. Sedangkan puncak Pangonan disebut Puncak Semurup yang berasal dari kata "Summer Up". Berdasarkan penjelasan dari mas Sugeng Pinus, bahwa dulu orang Belanda yang menamakan puncak ini dengan sebutan Summer Up tapi warga Dieng menyebutnya dengan Semurup.

Waktu tempuh dari basecamp ke padang savana hanya sekitar 30 menit. Trek yang dilalui pohon-pohon dengan tekstur tanah yang gembur, apabila hujan akan sangat berbahaya karena mudah longsor. Dengan santai kami menuju padang savana, tak terasa kami semakin mendekati padang savana. Masya Allah begitu indah ciptaan-Mu, hamparan rumput yang menguning karena diterpa musim kemarau membentang luas dan dikelilingi oleh bukit hijau menjadikan lembah ini begitu indah. Tak lupa kami segera mengeluarkan kamera dan handphone untuk mengambil foto.
Padang Savana - Lembah Semurup
Keindahan Lembah Semurup
Disaat keasyikan menikmati keindahan padang savana, tiba-tiba hujan mengguyur kami. Kami segera membuka flysheet dan berteduh. Saya sangat menyukai hujan, suka dengan suara rintikan hujan yang menurut saya terdengar sangat syahdu, dan saya juga sangat suka air hujan yang mengalir dengan lembut jatuh ke tangan. Kalau saja saya membawa pakaian ganti lebih mungkin saya sudah hujan-hujanan di tengah padang savana, tapi kali ini saya masih memakai logika dan hal itu tidak saya lakukan hehe.
Tiga puluh menit kami tertahan di padang savana, setelah hujan reda kami segera melanjutkan pendakian. Trek semakin sulit karena tanah menjadi semakin gembur setelah diguyur hujan. Dan sesekali hujan masih datang sehingga membuat kami harus berhenti sejenak. 

Mendekati Puncak Semurup
Jalur menuju puncak terselimuti kabut

Alhamdulillah, tepat jam 5 sore kami tiba di puncak Semurup. Puncak dengan ketinggian 2.300 mdpl dengan view 360 derajat kita bisa melihat keindahan Dieng. Ini adalah puncak kedua bagi saya dengan view 360 derajat, yang puncak sebelumnya adalah puncak gunung Bongkok Purwakarta. Masih ditemani dengan gerimis hujan serta kabut, para cowok memasang tenda dan kami para ladies mulai memasak makan malam. Menu makan malam kita kali ini adalah Pecel sayuran, kentang kacang teri goreng dan tak lupa bakso lobster yang selalu menjadi menu andalan setiap ngecamp, serta kentang goreng hasil temuan mbak Asih di trek. 
Gerimis hujan yang masih jatuh membasahi bumi, kabut yang semakin tebal dan dinginnya udara yang mulai menusuk tulang membuat kami masuk ke dalam tenda lebih awal. Malam ini kami tidak bisa menikmati langit Dieng dari puncak Semurup. Mbak Mulyati Asihdan Siti Noer Diyanah sudah beranjak tidur dengan kehangatan sleeping bag mereka. Walaupun udara sangat dingin entah kenapa malam ini saya belum bisa memejamkan mata dan untuk menghilangkan kebosanan saya pun mengutak atik handphone.  
 
Kabut dan angin malam
Telaga Merdada terlihat dari puncak

Mata ini tetap masih belum bisa terpejam dan saya merasa suasana di luar tenda mencekam. Hujan yang masih belum reda dengan suara angin yang menderu begitu kencang membuat suasana semakin mencekam. Apalagi hanya kami yang nenda di puncak, tak ada tenda tetangga seperti di puncak-puncak lainnya. Walaupun di puncak Prau begitu ramai tapi kami di sini merasakan kesunyian. Tak berani membayangkan hal-hal yang aneh di luar tenda, saya akhirnya bersembunyi di balik sleeping bag dan mencoba untuk memejamkan mata. 
"Kletak Klotek ", saya terbangun ketika mendengar suara kletak klotek . Saya melihat jam tangan dan waktu masih menunjukkan pukul 1 pagi dan suara itu terdengar lagi. Saya memasang pendengaran saya dan ternyata suara itu berasal dari nesting yang diletakkan di luar tenda, mungkin nesting terkena angin, karena hujan belum reda dan angin masih menderu dengan kencang menggoyangkan tenda kami dan seketika cahaya kilat terlihat dari dalam tenda. Saya mencoba kembali untuk memejamkan mata, tapi mata sulit untuk terpejam. Akhirnya saya hanya melihat sekeliling dalam tenda dan melihat mbak Asih dan nchink masih tertidur. 
Malam terasa begitu panjang bagi saya, dan seketika saya kangen dengan suara yang berasal dari tenda tetangga, kangen dengan suara orang-orang yang bergadang di luar tenda, dan kali ini saya sangat tidak suka dengan kesunyian. Saya lewati malam ini dengan berdiam diri di dalam sleeping bag. "Tek tok tek tok" mungkin seperti itu suara jam di tengah kesunyian malam. 
Sunrise yang telat tapi tetap indah
Alhamdulillah sayup-sayup terdengar suara adzan Subuh, 3 jam saya tidak bisa tertidur. Mbak Asih dan Nchink pun terbangun untuk menunaikan ibadah sholat Subuh. Tepat jam 5 pagi saya keluar tenda, hujan dan angin sudah berhenti tetapi kabut masih menyelimuti dinginnya pagi. Dengan kabut yang masih tebal, sudah pasti sunrise tidak akan bisa kami nikmati. Tak dapat sunrise pun tak apa, karena puncak dan sunrise adalah bonus dalam setiap pendakian. 
Kami mulai menyiapkan sarapan dengan menu nasi goreng, bihun goreng dan kentang campur kacang teri, semuanya karbohidrat dan diet tidak berlaku kali ini hehe. "Ini adalah ngecamp yang paling enak dan bisa tidur nyenyak" ujar bang Udin Bhacok disaat kami sedang masak. Ya iyalah secara bang Udin yang biasanya bawa carriel kali ini benar-benar hanya membawa daypack. A Iwan Muzakkir membantu mbak Asih memasak nasi goreng sedangkan bihun goreng diolah oleh chef Nchink. Mas Sugeng dan bang Udin menjemur equipment kami yang basah dan saya sendiri membersihkan dalam tenda.
 
Cerahnya puncak Semurup
Birunya langit.. kuningnya tenda..

Selesai sarapan, kami langsung membongkar tenda. Kabut semakin menipis dan menghilang, menyibak keindahan Dieng dari puncak Semurup, dan kami langsung mengabadikan moment ini dan bernasis ria di puncak. Setelah semuanya beres kami pun perlahan menurunin puncak.


Enam Sekawan beraksi di puncak Semurup
Semoga setelah lembah savana ini dibuka untuk umum, keindahan dan keasriannya tetap terjaga. Tapi entah kenapa saya begitu pesimis, saya sudah membayangkan akan penuhnya puncak dan lembah savana dengan tenda-tenda , tapi rasa pesimis saya terselip rasa optimis kalau mereka yang berkunjung ke Gunung Pangonan mengerti akan artinya menjaga alam.