"Selalu ada yang tertinggal setiap kali mengunjungi dataran tinggi Dieng dan yang tertinggal itu adalah hatiku.. "
Kaki
ini kembali berpijak di dataran tinggi Dieng, entah energi apa
yang dipancarkan oleh Dieng sehingga membuat
saya selalu ingin kembali
ke sana.
Ya, ini adalah ke lima kalinya saya mengunjungi Negeri di atas awan.
Kalau dari hitungan seharusnya saya sudah mendapatkan gelas atau payung
sebagai bonusnya, tapi bonus yang didapat dari kelima kalinya saya ke
Dieng adalah kentang yang super enak.
"Yuk
kita berangkat" ajak mas Sugeng kepada kami. Saya melihat jam dan
ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul 2 siang. Setelah berpamitan
ke ibu mas Sugeng, kami langsung berangkat menuju Basecamp Gunung
Pangonan.
Kemping
di wilayah Pangonan dikenakan biaya sebesar Rp. 10.000,- dan bila tidak
kemping hanya dikenakan biaya Rp. 5.000,-. Urusan retribusi selesai,
kami menuju jalur pendakian.
Basecamp Gunung Pangonan |
Pipa
uap yang sangat besar dan panjang menjadi pembuka jalur pendakian kami
menuju padang savana Pangonan. Disebut Pangonan karena dulu di lembah
savana banyak kuda yang diangon oleh warga. Sedangkan puncak Pangonan disebut Puncak Semurup yang berasal dari kata "Summer Up". Berdasarkan penjelasan dari mas Sugeng Pinus, bahwa dulu orang Belanda yang menamakan puncak ini dengan sebutan Summer Up tapi warga Dieng menyebutnya dengan Semurup.
Waktu tempuh dari basecamp ke padang savana hanya sekitar 30 menit. Trek
yang dilalui pohon-pohon dengan tekstur tanah yang gembur, apabila
hujan akan sangat berbahaya karena mudah longsor. Dengan santai kami
menuju padang savana, tak terasa kami semakin mendekati padang savana. Masya Allah
begitu indah ciptaan-Mu, hamparan rumput yang menguning karena
diterpa musim kemarau membentang luas dan dikelilingi oleh bukit hijau
menjadikan lembah ini begitu indah. Tak lupa kami segera
mengeluarkan kamera dan handphone
untuk mengambil foto.
Keindahan Lembah Semurup |
Tiga
puluh menit kami tertahan di padang savana, setelah hujan reda kami
segera melanjutkan pendakian. Trek semakin sulit karena tanah
menjadi semakin gembur setelah diguyur
hujan.
Dan sesekali hujan masih datang sehingga membuat kami harus
berhenti sejenak.
Mendekati Puncak Semurup |
Jalur menuju puncak terselimuti kabut |
Alhamdulillah, tepat jam 5 sore kami tiba di puncak Semurup. Puncak dengan ketinggian 2.300 mdpl dengan view 360 derajat kita bisa melihat keindahan Dieng. Ini adalah puncak kedua bagi saya dengan view 360 derajat, yang puncak sebelumnya adalah puncak gunung Bongkok Purwakarta. Masih ditemani dengan gerimis hujan serta kabut, para cowok memasang tenda dan kami para ladies mulai memasak makan malam. Menu makan malam kita kali ini adalah Pecel sayuran, kentang kacang teri goreng dan tak lupa bakso lobster yang selalu menjadi menu andalan setiap ngecamp, serta kentang goreng hasil temuan mbak Asih di trek.
Gerimis hujan yang masih jatuh membasahi bumi, kabut yang semakin
tebal dan dinginnya udara yang mulai menusuk tulang membuat kami masuk
ke dalam tenda lebih awal. Malam ini kami tidak bisa menikmati langit
Dieng dari puncak Semurup. Mbak Mulyati Asihdan Siti Noer Diyanah sudah beranjak tidur dengan kehangatan sleeping bag
mereka. Walaupun udara sangat dingin entah kenapa malam ini saya
belum bisa memejamkan mata dan
untuk menghilangkan
kebosanan saya pun mengutak atik handphone.
Kabut dan angin malam |
Telaga Merdada terlihat dari puncak |
Mata ini tetap masih belum bisa terpejam dan saya merasa suasana di luar tenda mencekam. Hujan yang masih belum reda dengan suara angin yang menderu begitu kencang membuat suasana semakin mencekam. Apalagi hanya kami yang nenda di puncak, tak ada tenda tetangga seperti di puncak-puncak lainnya. Walaupun di puncak Prau begitu ramai tapi kami di sini merasakan kesunyian. Tak berani membayangkan hal-hal yang aneh di luar tenda, saya akhirnya bersembunyi di balik sleeping bag dan mencoba untuk memejamkan mata.
"Kletak
Klotek ", saya
terbangun ketika mendengar suara kletak klotek . Saya melihat jam
tangan dan waktu masih menunjukkan pukul 1 pagi dan suara itu terdengar
lagi. Saya memasang pendengaran saya dan ternyata suara itu berasal dari
nesting yang diletakkan di luar tenda, mungkin nesting terkena angin,
karena hujan belum reda dan angin masih menderu dengan
kencang menggoyangkan tenda kami dan seketika cahaya kilat terlihat dari
dalam tenda. Saya mencoba kembali
untuk memejamkan mata, tapi mata sulit untuk terpejam. Akhirnya saya
hanya melihat sekeliling dalam tenda dan melihat mbak Asih dan nchink
masih
tertidur.
Malam terasa begitu panjang bagi saya, dan seketika saya kangen dengan
suara yang berasal dari tenda tetangga, kangen dengan suara
orang-orang yang bergadang di luar tenda, dan kali ini saya sangat tidak
suka dengan kesunyian. Saya lewati malam ini dengan berdiam diri di
dalam sleeping bag.
"Tek tok tek tok" mungkin seperti itu suara jam di tengah kesunyian
malam.
Sunrise yang telat tapi tetap indah |
Kami mulai menyiapkan sarapan dengan menu nasi goreng, bihun
goreng dan kentang campur kacang teri, semuanya
karbohidrat dan diet tidak berlaku kali ini hehe. "Ini adalah
ngecamp yang paling enak dan bisa tidur nyenyak" ujar bang Udin Bhacok disaat kami sedang masak. Ya iyalah secara bang Udin yang biasanya bawa carriel kali ini benar-benar hanya membawa daypack. A Iwan Muzakkir membantu
mbak Asih memasak nasi goreng sedangkan bihun goreng diolah oleh chef
Nchink. Mas Sugeng dan bang Udin menjemur equipment kami yang basah dan
saya sendiri membersihkan dalam tenda.
Cerahnya puncak Semurup |
Birunya langit.. kuningnya tenda.. |
Selesai sarapan, kami langsung membongkar tenda. Kabut semakin menipis dan menghilang, menyibak keindahan Dieng dari puncak Semurup, dan kami langsung mengabadikan moment ini dan bernasis ria di puncak. Setelah semuanya beres kami pun perlahan menurunin puncak.
Enam Sekawan beraksi di puncak Semurup |
Semoga setelah lembah savana ini dibuka untuk umum, keindahan dan
keasriannya tetap terjaga. Tapi entah kenapa saya begitu pesimis, saya
sudah membayangkan akan penuhnya puncak dan lembah savana dengan
tenda-tenda ,
tapi rasa pesimis saya terselip rasa optimis kalau mereka yang
berkunjung ke Gunung Pangonan mengerti akan artinya menjaga
alam.
0 komentar:
Posting Komentar