Kamis, 10 Desember 2015

Malam Panjang di Puncak Semurup - Pangonan

 "Selalu ada yang tertinggal setiap kali mengunjungi dataran tinggi Dieng dan yang tertinggal itu adalah hatiku.. "
Kabut menyelimuti puncak Semurup
Kaki ini kembali berpijak di dataran tinggi Dieng, entah energi apa yang dipancarkan oleh Dieng sehingga membuat saya selalu ingin kembali ke sana. Ya, ini adalah ke lima kalinya saya mengunjungi Negeri di atas awan. Kalau dari hitungan seharusnya saya sudah mendapatkan gelas atau payung sebagai bonusnya, tapi bonus yang didapat dari kelima kalinya saya ke Dieng adalah kentang yang super enak.

"Yuk kita berangkat" ajak mas Sugeng kepada kami. Saya melihat jam dan ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul 2 siang. Setelah berpamitan ke ibu mas Sugeng, kami langsung berangkat menuju Basecamp Gunung Pangonan. Kemping di wilayah Pangonan dikenakan biaya sebesar Rp. 10.000,- dan bila tidak kemping hanya dikenakan biaya Rp. 5.000,-. Urusan retribusi selesai, kami menuju jalur pendakian. 
Basecamp Gunung Pangonan
Awal jalur pendakian. Photo by Mulyati Asih
Pipa uap yang sangat besar dan panjang menjadi pembuka jalur pendakian kami menuju padang savana Pangonan. Disebut Pangonan karena dulu di lembah savana banyak kuda yang diangon oleh warga. Sedangkan puncak Pangonan disebut Puncak Semurup yang berasal dari kata "Summer Up". Berdasarkan penjelasan dari mas Sugeng Pinus, bahwa dulu orang Belanda yang menamakan puncak ini dengan sebutan Summer Up tapi warga Dieng menyebutnya dengan Semurup.

Waktu tempuh dari basecamp ke padang savana hanya sekitar 30 menit. Trek yang dilalui pohon-pohon dengan tekstur tanah yang gembur, apabila hujan akan sangat berbahaya karena mudah longsor. Dengan santai kami menuju padang savana, tak terasa kami semakin mendekati padang savana. Masya Allah begitu indah ciptaan-Mu, hamparan rumput yang menguning karena diterpa musim kemarau membentang luas dan dikelilingi oleh bukit hijau menjadikan lembah ini begitu indah. Tak lupa kami segera mengeluarkan kamera dan handphone untuk mengambil foto.
Padang Savana - Lembah Semurup
Keindahan Lembah Semurup
Disaat keasyikan menikmati keindahan padang savana, tiba-tiba hujan mengguyur kami. Kami segera membuka flysheet dan berteduh. Saya sangat menyukai hujan, suka dengan suara rintikan hujan yang menurut saya terdengar sangat syahdu, dan saya juga sangat suka air hujan yang mengalir dengan lembut jatuh ke tangan. Kalau saja saya membawa pakaian ganti lebih mungkin saya sudah hujan-hujanan di tengah padang savana, tapi kali ini saya masih memakai logika dan hal itu tidak saya lakukan hehe.
Tiga puluh menit kami tertahan di padang savana, setelah hujan reda kami segera melanjutkan pendakian. Trek semakin sulit karena tanah menjadi semakin gembur setelah diguyur hujan. Dan sesekali hujan masih datang sehingga membuat kami harus berhenti sejenak. 

Mendekati Puncak Semurup
Jalur menuju puncak terselimuti kabut

Alhamdulillah, tepat jam 5 sore kami tiba di puncak Semurup. Puncak dengan ketinggian 2.300 mdpl dengan view 360 derajat kita bisa melihat keindahan Dieng. Ini adalah puncak kedua bagi saya dengan view 360 derajat, yang puncak sebelumnya adalah puncak gunung Bongkok Purwakarta. Masih ditemani dengan gerimis hujan serta kabut, para cowok memasang tenda dan kami para ladies mulai memasak makan malam. Menu makan malam kita kali ini adalah Pecel sayuran, kentang kacang teri goreng dan tak lupa bakso lobster yang selalu menjadi menu andalan setiap ngecamp, serta kentang goreng hasil temuan mbak Asih di trek. 
Gerimis hujan yang masih jatuh membasahi bumi, kabut yang semakin tebal dan dinginnya udara yang mulai menusuk tulang membuat kami masuk ke dalam tenda lebih awal. Malam ini kami tidak bisa menikmati langit Dieng dari puncak Semurup. Mbak Mulyati Asihdan Siti Noer Diyanah sudah beranjak tidur dengan kehangatan sleeping bag mereka. Walaupun udara sangat dingin entah kenapa malam ini saya belum bisa memejamkan mata dan untuk menghilangkan kebosanan saya pun mengutak atik handphone.  
 
Kabut dan angin malam
Telaga Merdada terlihat dari puncak

Mata ini tetap masih belum bisa terpejam dan saya merasa suasana di luar tenda mencekam. Hujan yang masih belum reda dengan suara angin yang menderu begitu kencang membuat suasana semakin mencekam. Apalagi hanya kami yang nenda di puncak, tak ada tenda tetangga seperti di puncak-puncak lainnya. Walaupun di puncak Prau begitu ramai tapi kami di sini merasakan kesunyian. Tak berani membayangkan hal-hal yang aneh di luar tenda, saya akhirnya bersembunyi di balik sleeping bag dan mencoba untuk memejamkan mata. 
"Kletak Klotek ", saya terbangun ketika mendengar suara kletak klotek . Saya melihat jam tangan dan waktu masih menunjukkan pukul 1 pagi dan suara itu terdengar lagi. Saya memasang pendengaran saya dan ternyata suara itu berasal dari nesting yang diletakkan di luar tenda, mungkin nesting terkena angin, karena hujan belum reda dan angin masih menderu dengan kencang menggoyangkan tenda kami dan seketika cahaya kilat terlihat dari dalam tenda. Saya mencoba kembali untuk memejamkan mata, tapi mata sulit untuk terpejam. Akhirnya saya hanya melihat sekeliling dalam tenda dan melihat mbak Asih dan nchink masih tertidur. 
Malam terasa begitu panjang bagi saya, dan seketika saya kangen dengan suara yang berasal dari tenda tetangga, kangen dengan suara orang-orang yang bergadang di luar tenda, dan kali ini saya sangat tidak suka dengan kesunyian. Saya lewati malam ini dengan berdiam diri di dalam sleeping bag. "Tek tok tek tok" mungkin seperti itu suara jam di tengah kesunyian malam. 
Sunrise yang telat tapi tetap indah
Alhamdulillah sayup-sayup terdengar suara adzan Subuh, 3 jam saya tidak bisa tertidur. Mbak Asih dan Nchink pun terbangun untuk menunaikan ibadah sholat Subuh. Tepat jam 5 pagi saya keluar tenda, hujan dan angin sudah berhenti tetapi kabut masih menyelimuti dinginnya pagi. Dengan kabut yang masih tebal, sudah pasti sunrise tidak akan bisa kami nikmati. Tak dapat sunrise pun tak apa, karena puncak dan sunrise adalah bonus dalam setiap pendakian. 
Kami mulai menyiapkan sarapan dengan menu nasi goreng, bihun goreng dan kentang campur kacang teri, semuanya karbohidrat dan diet tidak berlaku kali ini hehe. "Ini adalah ngecamp yang paling enak dan bisa tidur nyenyak" ujar bang Udin Bhacok disaat kami sedang masak. Ya iyalah secara bang Udin yang biasanya bawa carriel kali ini benar-benar hanya membawa daypack. A Iwan Muzakkir membantu mbak Asih memasak nasi goreng sedangkan bihun goreng diolah oleh chef Nchink. Mas Sugeng dan bang Udin menjemur equipment kami yang basah dan saya sendiri membersihkan dalam tenda.
 
Cerahnya puncak Semurup
Birunya langit.. kuningnya tenda..

Selesai sarapan, kami langsung membongkar tenda. Kabut semakin menipis dan menghilang, menyibak keindahan Dieng dari puncak Semurup, dan kami langsung mengabadikan moment ini dan bernasis ria di puncak. Setelah semuanya beres kami pun perlahan menurunin puncak.


Enam Sekawan beraksi di puncak Semurup
Semoga setelah lembah savana ini dibuka untuk umum, keindahan dan keasriannya tetap terjaga. Tapi entah kenapa saya begitu pesimis, saya sudah membayangkan akan penuhnya puncak dan lembah savana dengan tenda-tenda , tapi rasa pesimis saya terselip rasa optimis kalau mereka yang berkunjung ke Gunung Pangonan mengerti akan artinya menjaga alam.

0 komentar:

Posting Komentar