Terkadang tanpa sadar kita saling diam tanpa satu katapun yang terucap, "Kita kaya orang yang lagi marahan aja ya dinda dari tadi diam-diaman, tapi diamnya dinda membuat ibi merasa nyaman".
Malam itu ketika saya sedang asyik melihat resep-resep kue, tiba-tiba handphone saya berbunyi dan ternyata whatsapp dari Ibikuh. "Dinda, ikut ibi ke Pakuwaja yuk weekend ini". Ibi memang sudah memanggil saya dinda dari pertama kali kita berkenalan, dan entah kenapa saya merasa nyaman sekali dengan panggilan itu. Agak galau juga dengan ajakan ibi karena begitu mendadak, tapi karena sudah lama penasaran dengan keindahan sunrise Pakuwaja akhirnya saya pun menjawab "Ok bi".
"Dinda, kita nanti ikut tripnya bang Mogel dan itinerary ke Pakuwajanya hari Minggu dini hari untuk mengejar sunrise jadi kita berangkat hari Sabtu" penjelasan ibi di whatsapp. "Kalau hari Sabtu dari Jakarta bisnya ga ada yang berangkat pagi bi, semuanya berangkat sore" jawabku yang mulai bingung lagi bagaimana caranya supaya bisa sampai ke Dieng Sabtu malam.
"Udah dinda ga usah bingung, dinda ke Garut aja dulu nginep di rumah ibi terus nanti berangkatnya bareng sama ibi dari Tasik naik bis Budiman yang jam 10 pagi, nanti di Wonosobo dijemput sama Melia, gimana?" solusi ibi, "Siip, ok bi kalau gitu, nanti aku Jum'at malam ke Garut" jawabku lega karena sudah ada solusinya..
Jum'at setelah pulang kerja saya langsung meluncur ke Garut, karena jalanan di dalam kota macet yang seharusnya sampai Garut jam 23.00 tapi kali ini sampai di Garut jam 02.00 dini hari, dan seperti biasa kalau ke Garut selalu mengganggu jam tidur ibi, Maaf ya bi :)
Sabtu pagi kami siap-siap berangkat ke Tasik, tapi sayang teteh tidak bisa ikut karena ada tugas pramuka di sekolahnya.
Selama perjalanan ke Tasik, kami terkadang bercerita atau lebih tepatnya saya yang curhat ke ibi ya.. hehehe, dan ditengah perjalanan saat ibi mau mengambil handphone dari saku ranselnya, ibi merasa kalau dompetnya tidak ada di tempatnya. "Ibi yakin naruhnya di situ" kataku, "Iya dinda, ibi udah siapin dari semalam" jawab ibi dengan raut wajah yang masih tenang. Setelah beberapa saat dicari-cari dan si dompet tidak muncul juga ibi mulai panik. "Ketinggalan kali bi di rumah, coba ibi telfon orang rumah". Lalu ibi menelfon saudaranya untuk mengecek dan alhamdulillah ternyata dompetnya ketinggalan di rumah, dan ibi baru ingat kalau tadi sempat kasih uang saku ke teteh dan lupa mengembalikannya lagi ke ransel. Ya akhirnya mau kembali pulang juga tidak mungkin karena sudah sampai Tasik, walaupun ibi ketinggalan dompet mau tidak mau kita tetap melanjutkan perjalanan ke Wonosobo seperti rencana awal. Ini mungkin menjadi pengalaman yang tidak akan terlupakan oleh ibi. :)
Jam 10 bis Budiman datang, saya dan ibi langsung naik dan melihat bis yang masih sepi penumpang kami pun bebas mencari tempat duduk yang nyaman. Selama perjalanan terkadang kami ngobrol, bercerita tentang apa saja tapi terkadang tanpa sadar kita saling diam tanpa satu kata yang terucap, "Kita kaya orang yang lagi marahan aja ya dinda dari tadi diam-diaman, tapi diamnya dinda membuat ibi merasa nyaman". Saya tersenyum mendengar kata-kata ibi karena saya juga merasa nyaman bersama ibi.
Bangun, tidur, bangun lagi, tidur lagi seperti lagunya Alm. Mbah Surip, begitulah perjalanan saya menuju Wonosobo, apalagi pak supir memutar lagu-lagu nostalgia yang membuat mata ini tak bisa diajak kompromi untuk menikmati pemandangan yang dari balik jendela, hingga sampai bis melewati Sungai Serayu mata ini baru bisa diajak berkompromi untuk melihat keindahan Sungai Serayu, kamera handphone pun langsung beraksi.
Tepat jam 18.30 kami sampai di Plaza Wonosobo dan di sana mba Melia dan dua temannya sudah menunggu. Setelah berkenalan, kami pun langsung menuju Dieng dengan menggunakan motor, mba Melia yang menjadi rider saya dan ibi jadi boncengers mas Kelik. Ini adalah ketiga kalinya saya mengunjungi Dieng tapi ini adalah pertama kalinya saya naik motor dari Wonosobo ke Dieng, sedangkan kunjungan yang pertama saya naik ELF dan yang kedua saya naik mobil pick up dari Alun-alun Wonosobo.
Perjalanan dari Wonosobo ke Dieng memakan waktu kurang lebih satu jam, saya sangat menikmati malam itu, walaupun udara dingin mulai menyapa tubuh ini tapi hujan bintang menyambut kedatanganku dan terkadang kabut Dieng tak lupa ikut menyapa saya. Malam itu entah kenapa saya merasa bahagia saat melihat hujan bintang di langit :) Selama perjalanan ke Dieng, Mba Melia banyak bercerita tentang Dieng dan juga pengalamannya melakukan perjalanan ke berbagai tempat. Pada saat kami melewati jalan yang kata mba Melia jalan itu dinamakan Jalur 15% karena di jalur itu banyak kendaraan yang melintas sering mogok, mungkin karena jalurnya mulai terjal kali ya dan motor mba Melia pun mulai lambat ketika melewati jalur itu, dan saat itu juga ada motor yang berhenti mungkin karena sudah tidak kuat untuk diajak melaju. "Keren juga motorku masih kuat" sahut mba Melia sambil ketawa. Melakukan perjalanan dengan mba Melia sangat seru dan asyik :)
Akhirnya kami pun sampai di homestay dan di sana sudah ada bang Mogel dan teman-teman yang lain yang sudah dari hari Sabtu pagi tiba di Dieng. Saya dan ibi langsung menuju kamar untuk beristirahat sejenak menghilangkan rasa lelah. Setelah cukup beristirahat kami keluar kamar untuk bergabung dengan teman-teman yang lain. Hari semakin malam dan rasa kantuk mulai kami rasakan, satu persatu dari kami undur diri untuk beranjak tidur karena besok jam 3 dini hari kami harus sudah bangun menuju Pakuwaja.
Jam 02.30 saya dan ibi sudah bangun dan menyiapkan perlengkapan untuk tracking ke Pakuwaja, yang awalnya jam 03.00 kami harus sudah berangkat tapi seperti biasa pasti ada hal yang membuat ngaretnya waktu. Jam 03.30 akhirnya kami baru berangkat.
Sebelum kami tracking, kami berdo'a terlebih dahulu yang dipimpin oleh bang Mogel, setelah itu kami memulai tracking yang diawali dari perkebunan kentang milik penduduk. Jalur yang sempit membuat saya dan teman-teman yang lain harus berjalan satu-satu. Bang Mogel dengan sigap berjalan di depan sebagai penunjuk jalan dan mba Melia berjalan paling belakang sebagai sweeper. Kami berjalan dengan pelan dan belum bisa menikmati pemandangan yang kami lewati karena hari masih gelap. Saat kami berjalan perlahan-lahan, tiba-tiba kami dikejutkan oleh kejadian yang tidak akan pernah kami bayangkan sebelumnya. Kejadian itu membuat ibi menemukan "Romantic Spot" begitulah ibi menamakannya, tempat yang gelap gulita yang dihiasi banyaknya cahaya seperti lampu berkelap kelip. Kejadian ini adalah pengalaman yang menjadi pelajaran hidup bagi kita di alam.
Setelah cukup untuk beristirahat, kami pun melanjutkan perjalanan lagi. Di akhir perkebunan kentang saya berhenti sejenak untuk menunaikan ibadah sholat subuh, setelah itu kami mulai meninggalkan area peekebunan kentang dan memasuki area ilalang yang sangat rimbun. Sang Surya mulai menampakkan sinarnya, saya dan teman-teman yang lain mempercepat langkah kami untuk mencapai puncak Pakuwaja yang memiliki ketinggian 2.413 mdpl.
Alhamdulillah kami sampai di puncak tapi sayang kami hanya kebagian sisa-sisa dari sunrise, tapi kami tidak kecewa karena kami masih dapat melihat moment yang membuat mata tak akan mau berkedip sedikitpun. Saya dan yang lainnya mulai bernarsis dengan kamera yang kami bawa sendiri maupun dengan kamera yang di bawa bang Mogel dan mba Melia. Seru juga ada fotografer yang handal, jadikan lumayan bisa jadi model Pakuwaja :)
Sungguh moment yang tidak dapat dirasakan pada saat kita berada di datar yaitu sarapan di atas puncak walaupun hanya dengan sebuah roti dan kopi teh, tapi nilai sarapan itu sangat begitu mahal karena menikmatinya di atas puncak dengan lukisan alam yang tidak dapat diucapkan dengan kata-kata. Jadi inget kata-kata sahabat saya yang sangat suka menikmati alam dari atas puncak "Tidak perlu makanan enak atau kopi mahal, yang penting bisa ngopi dan makan ditemanin sunrise, itu udah cukup"
Selesai sarapan kami segera menuju tempat yang terdapat sebuah batu yang menjulang tinggi dari permukaan gunung dan orang Dieng mempercayai bahwa batu tersebut sebagai pakunya pulau Jawa, dari hal itulah sebagai asal muasal dinamakannya Gunung Pakuwaja. Di sebelah kanan dan kiri batu tersebut ada telaga yang sudah mengering dan sekarang telaga itu sudah penuh dengan ilalang, dan konon air dari telaga tersebut berpindah mengalir ke bawah yaitu mengalir ke Telaga Cebong. Selain itu batu tersebut juga sering dijadikan sebagai tempat untuk ritual atau semedi, dan hal yang menarik lainnya adalah candi-candi yang berada di Dieng dibangun dengan menggunakan batuan Andesit yang berasal dari Gunung Pakuwaja.
Sinar matahari sudah semakin terang, kami memutuskan untuk segera turun, dan seperti biasa kalau tracking turun pasti lebih cepat daripada nanjak dan ini adalah hukum alam yang tidak dapat dipungkiri :) Saat adzan Dzuhur berkumandang kami tiba di homestay. Saya pun langsung packing, karena bis ke Jakarta berangkat jam 16.00.
Jam 14.00 saya pamit ke ibi, bang Mogel dan teman-temannya yang lain, saya ke Wonosobo diantar sama mba Melia karena ibi dan teman-teman yang lain bisnya berangkat jam 18.00 jadi mereka masih beristirahat di homestay. Sampai di Wonosobo saya dan mba Melia mampir ke rumah makan mie ongklok, kuliner ciri khas Wonosobo dan Dieng. Mie Ongklok adalah makanan yang terbuat dari mie yang diramu dengan sayuran kol dan potongan daun kucai setelah itu disiram dengan kuah dan bumbu kacang serta bawang goreng, yang membuat mie ongklok terasa lebih segar karena ada campuran ebi di dalamnya, dan akan terasa lebih nikmat lagi apabila kita menyantapnya ditemani dengan sate, tempe kemul, geblek goreng dan segelas es teh manis atau es jeruk, rasanya makyus seperti kata Pak Bondan.
Setelah kenyang, saya dan mba Melia pun berebutan untuk membayar, karena saya mengeluarkan uang dalam pecahan Rp. 100.000,- akhirnya ibu penjual lebih memilih mengambil uang mba Melia yang pecahan Rp.50.000, kata mba Melia "traktiran untuk perkenalan". "Terima kasih ya mba udah ditraktir" jawabku sambil tersenyum. Setelah dihitung dua porsi mie ongklok dengan dua porsi sate yang satu porsinya berisi sepuluh tusuk sate dan masing-masing dari kami mengambil satu tempe kemul dan satu air jeruk dan es teh manis semuanya hanya Rp. 41.000,- sangat murah sekali.
Kami segera menuju Terminal Mendolo, terminal yang sangat rapi dan bersih yang berada di Mendolo Wonosobo. Saya segera menuju agen Bis Pahala Kencana yang posisi dekat dengan pintu keluar terminal. Setelah membayar tiket, saya menemani mba Melia ke agen Budiman untuk memesan tiket ibi. Tepat jam 16.00 saya segera menaiki bis Pahala Kencana jurusan Kampung Rambutan dan perjalanan kali ini berakhir saat bis mulai meninggalkan Terminal Mendolo.
Setelah kenyang, saya dan mba Melia pun berebutan untuk membayar, karena saya mengeluarkan uang dalam pecahan Rp. 100.000,- akhirnya ibu penjual lebih memilih mengambil uang mba Melia yang pecahan Rp.50.000, kata mba Melia "traktiran untuk perkenalan". "Terima kasih ya mba udah ditraktir" jawabku sambil tersenyum. Setelah dihitung dua porsi mie ongklok dengan dua porsi sate yang satu porsinya berisi sepuluh tusuk sate dan masing-masing dari kami mengambil satu tempe kemul dan satu air jeruk dan es teh manis semuanya hanya Rp. 41.000,- sangat murah sekali.